Tahukah Anda - Saat menjelang pemilihan seorang pemimpin kerap beredar isu-isu miring pada para calon pemimpin, isu-isu negatif seperti liberal dari segi ekonomi, antek partai terlarang, rasial, atau keyakinan agama.
Pemimpin memegang kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mulai dari kesehatan, transportasi, tata kelola sumber daya alam, kesejahteraan, dan berbagai kebijakan publik lainnya oleh karna itu seorang Pemimpin merupakan posisi terpenting dalam Islam.
Berkaitan dengan ini ulama berbeda pendapat. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi (nonmuslim yang dijamin hak-haknya).
Menurut Al-Hamawi, tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.
Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin
Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).
Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan nonmuslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.
“Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi. Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).
Al-Mawardi dalam karyanya ini menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka (bukan budak dalam konteks itu).
Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.
Dalam konteks Indonesia pemimpin nonmuslim tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin nonmuslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.
Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang membolehkan nonmuslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak kearifan hukum Islam.
Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin nonmuslim sering beredar menjelang pemilihan. Sebut saja ayat berikut ini.
Yâ ayyuhalladzîna âmanû, lâ tattakhidzul ladzînat takhadzû dînakum huzuwan wa la ‘iban minalladzîna ûtul kitâba min qablikum wal kuffâra auliyâ. Wattaqullâha in kuntum mu’mimîn.
Artinya, “Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun orang kafir sebagai wali/auliya. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang beriman,” (Al-Maidah ayat 57).
Apakah kata “wali/auliya” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali/auliya” inilah, menentukan pokok masalah yang sedang kita perbincangkan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.
“Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk bergaul lebih dekat dengan mereka sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat,” (Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).
Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam suasana perang saat itu karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis agama.
Saran kami berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun nonmuslim. Karena mereka ke depan akan mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat integritas calon dan track reccord mereka. Di samping itu kita perlu melihat sejauh apa ‘independensi’ calon pemimpin dari pelbagai tekanan atau kepentingan di luar dirinya. Kami juga berharap kepada warga untuk tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan. (Alhafiz Kurniawan)
Sumber : www.muslimedianews.com
0 Response to "Memilih Pemimpin Nonmuslim? Berikut Hukumnya Dalam Islam"
Post a Comment